iklan

Kesederhanaan Pak Guru


Cuaca siang ini begitu panas, wajar 20 menit lagi masuk waktu dzuhur. Aku berharap bisa cepat dapat angkot, agar bisa sholat di masjid dekat rumah saja. Alhamdulillah tak berselang lama angkot berwarna biru berhenti tepat di depanku. Kuisyaratkan dengan telunjuk, pak sopir pun mengangguk, mengerti tujuan yang kumaksud.

Aku naik di bak belakang, sengaja duduk dekat pintu agar tersapu angin jalanan.

“Ketemu lagi kita pak?” sapaku kepada Bapak yang duduk tepat dihadapanku.

“Iya dek”, jawabnya singkat sambil tersenyum.

Saya kerap kali satu angkot dengan Bapak ini, mungkin rumahnya satu arah dengan rumahku. Atau jangan-jangan satu kompleks. Kuberanikan diri untuk basa basi menanyakan alamat rumahnya, dan benar beliau satu kompleks denganku. Hanya rumahnya di bagian ujung kompleks.

Meski disapu angin di atas angkot ini, saya tak henti-hentinya mengelap keringat dikeningku dengan tisu yang kumiliki. Demikian juga bapak di depanku.

“Panas sekali pak yah?” Keluhku

“Iya dek” jawabnya sambil tersenyum

“Dari mana dek?” tanya Bapak ini pada saya

“Oh, iya pak saya dari temani Ibu ke rumah kakak. Kebetulan saya tidak bisa bawa kendaraan sendiri jadinya naik angkot pak. Hehehe”. Jawabku agak sedikit malu.

“Ngantarnya di mana dek?” tanya Bapak itu lagi.

“Dekat pak, di jalan Masjid Raya” jawabku

“Oh iya dekat yah”.

Bapak itu lalu berhenti berbicara denganku. Sesaat kuperhatikan dari perawakannya, pakaiannya dan caranya berbicara sepertinya Bapak ini adalah seorang guru.

Dengan penuh keyakinan aku langsung bertanya “Bapak ngajar di mana?”.

“Saya guru dek, mengajar di daerah, bukan di Kota ini. Jadi saya lintas Kabupaten, lumayan jauh, dua kali saya naik angkot untuk sampai ke sekolah”

“Wah jauh pak yah. Sudah lama bapak ngajar di sana?”. Tanyaku lagi penasaran

“Iya dek, sudah lebih sepuluh tahun dan saya naik angkot terus” jawab Bapak sambil tersenyum.

Saya makin penasaran “Kenapa Bapak tidak pindah tugas saja supaya bisa lebih dekat dari rumah pak, lebih efisien pak?”. Maaf pak saya banyak tanya. Hehe’karen.

“Iya dek, sudah banyak rekan yang menyarankan demikian, tapi saya juga sudah nyaman di tempat tugas saya itu. Disana penempatan tugas pertama saya, rumah orang tua saya juga dekat disana jadi bisa sering-sering jenguk orang tua di sana dek”.

“Saya juga tidak bisa pindah ke sana karena istri saya harus jaga butiknya”

“Naik angkot seperti ini juga mudah-mudahan menjadi ladang amal bagi saya berbagi rezeki dengan sopir angkot” Demikian Bapak menjelaskan.

Namun saya belum juga puas, tapi saya tak mau bertanya panjang lebar takut terlalu masuk ranah pribadi Bapak tadi.

Oh yah pak, saya pamit turun duluan, itu rumah saya didepan, sambil menunjuk rumah dengan pagar bambu.

Lama saya mencari uang di saku saya, bahkan semua saku saya telah kuperiksa. Ternyata saya tidak bawa uang dari tadi. Tadi Ibu yang menyewa angkot.

“Pak Sopir tunggu yah, saya ambilkan uangnya di dalam rumah, saya lupa”. Kataku ke Pak Sopir agak malu-malu.

Lalu aku berlari masuk ke rumah, begitu keluar angkotnya sudah pergi. Mungkin sudah dibayarkan oleh pak guru tadi.

Semoga saya bisa bertemu lagi dengannya. Saya salut dengan kesederhanaannya, disaat banyak orang yang berfikir membeli kendaraan pribadi. Beliau malah memilih naik angkot.

Pallangga Gowa, 30-01-2022
Guru Sunardi I am a teacher. Selengkapnya bisa lihat di halaman "About Me' di blog ini

Belum ada Komentar untuk "Kesederhanaan Pak Guru"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel